Pengalaman ini terjadi
sekitar Tahun 2000, ketika itu baru dua tahun aku mengemban tugas sebagai guru
SD, dan satu amanah
yang cukup besar bagi seorang Guru Pemula sepertiku ketika Kepala Sekolah
menugaskan langsung menjadi Wali Kelas
VI. Para Guru ditempat kerjaku rata-rata berpikir dua kali ketika harus menjadi
wali kelas VI, hal ini dapat dimaklumi karena dikelas enam inilah keberhasilan
kelulusan para peserta didik ditentukan yang pada akhirnya akan berimbas pada
gengsi sekolah.
Sekolah tempat tugasku
berada di daerah pedesaan dengan sebagian besar mata pencaharian masyarakatnya adalah petani
dan buruh tani. Pertanian yang banyak dikembangan merupakan pertanian kering
atau peladangan, dan singkong serta
jagunglah yang menjadi komiditi unggulan disini. Dengan kondisi itulah, sebagian
besar anak didikku berangkat ke sekolah
dengan berjalan kaki dan karena kesibukan orangtua mengurus ladanggnya banyak
diantara mereka yang belum sempat sarapan pagi. Bisa dibayangkan ketika
anak-anak ini sampai di sekolah, jangankan untuk menerima materi pelajaran dengan
baik, untuk bertahan agar mereka tidak masuk angin saja sudah cukup.
Pada suatu ketika saat pembelajaran
Bahasa Indonesia dengan materi mengarang, aku sudah siapkan berbagai intrumen
pembelajaran mulai dari SATPEL (semacam RPP sekarang), lembar evaluasi, Lembar Kegiatan
Siswa, dan gambar peristiwa sebagai media pembelajaran. Kegiatan diawali dengan
sebuah cerita yang sudah kupersiapkan, kemudian siswa belajar menulis karangan
dengan berdasarkan gambar yang telah dibagikan. Sungguh diluar dugaan, tatkala
sebagai besar siswa banyak yang bolak-balik menghampiri tempat dudukku
menanyakan “sebuah kata dalam Bahasa Indonesianya”. Dengan kondisi seperti
inilah sudah dapat dipastikan kegiatan pembelajaran kurang berhasil dan hasil
belajar siswa pun belum memuaskan.
Pada waktu istirahat kucoba analisis
hasil pekerjaan para peserta didikku dengan tujuan mencari tahu apa sebenarnya
yang terjadi. Dari hasil kegiatan tersebut diperoleh suatu gambaran bahwa
khazanah pembendaharaan Bahasa Indonesia para peserta didikku masih lemah. Hal
ini bisa dilihat, dengan banyaknya ditemukan kata-kata dari Bahasa Ibu (Sunda)
yang digunakan atau dicampur dengan Bahasa Indonesia dalam karangan. Kenyataan
ini juga, didukung fenomena dalam proses pembelajaran di mana sebagian besar
peserta didik bolak-balik ke meja Guru untuk menanyakan kata dalam Bahasa
Indonesia.
Seperti kita ketahui bersama menulis
merupakan salah satu keterampilan dari empat keterampilan berbahasa, yaitu;
menyimak, berbicara, membaca dan menulis itu sendiri. Keempat keterampilan
tersebut merupakan bagian yang tidak berdiri secara sendiri-sendiri, tetapi
rangkaian yang berjenjang. Ini artinya kemampuan menulis seseorang tidak akan
baik jika ketiga keterampilan sebelumnya belum dikuasai. Saya berpikir masih
kurangnya pembendaharaan kata peserta didik dalam menulis sebagai dampak
kurangya kegiatan membaca, Terlebih dengan kondisi sekolah pada waktu itu,
jangankan perpustakaan buku sumber saja sudah usang dengan jumlah yang
terbatas. Perlu juga diketahui sekitar tahun 2000 Biaya Opersional Sekolah
(BOS) belum ada sehingga buku-buku sebagai sumber belajar masih minim sekali.
Sepintas berpikir ada keingginan
untuk menugaskan peserta didik kelas VI untuk membeli kamus Bahasa Indonesia
dengan tujuan untuk mengatasi permasalahan yang dialamanyi. Namun keinginan itu
hilang ketika melihat kondisi ekonomi orang tua peserta didikku, belum lagi
untuk mencari toko buku terdekat saja harus menuju ke Ibukota Kabupaten yang
jaraknya sekitar 45 Km. Akhirnya muncul suatu ide untuk membuat “KAMUSKU”.
Untuk membuat kamusku semua siswa
ditugaskan umtuk membeli buku tulis yang murah saja, Buku tersebut digunting
sehingga bentuknya memanjang. Tiap hari semua siswa ditugaskan mencari dan
menuliskan 10 kata dalam Bahasa Indonesia lengkap dengan artinya dalam kurun
waktu satu caturwulan (saat itu masih caturwulan). Selain itu juga siswa harus
memperlihatkan sumber kata itu diambil, dan saya menugaskan untuk mencari
kata-kata dari potongan kertas pembungkus makanan, koran bekas, dus makanan,
dus obat dan apa saja yang mudah didapat dan tentu saja harus gratis. Ada dua
tujuan pokok yang ingin saya tanamkan terkait kegiatan ini, yaitu:
1. Membelajarkan peserta didik untuk
secara kontinyu berlatih dan gemar membaca. Dengan menuliskan sepuluh kata dan
mengartikannya, siswa dituntut untuk membaca dan memahami kata yang ditulisnya.
2. Menanamkan sikap hemat dan
memanfaatkan lingkungan sekitar sebagai sumber belajar. Dengan memanfaatkan
barang-barang bekas yang tersedia siswa belajara untuk hidup hemat tanpa
mengurangi makna untuk belajar.
Satu bulan telah kulalui, dan kurang lebih 240 kata telah
masuk buku kamusku, kucoba lagi siswa untuk belajar mengarang. Hatiku mulai
lega peserta didikku telah nampak konsentrasi untuk menulis karangan, walaupun
ada beberapa yang masih nampak kebingungan mencari kata dalam Bahasa
Indonesianya, namun hal itu tidak mengganggu jalanya proses pembelajaran.
Menjelang akhir tahun semua peserta didik kelas VI
dihadapkan untuk mengikuti EBTA/EBTANAS (semacan UN sekarang), dan salah satu
kegiatan ujian praktik Bahasa Indonesia adalah menulis karangan. Sungguh luar
biasa ketika rata-rata nilai ujian praktik menulis karangan peserta didikku
peringkat satu Kecamatan. Walaupun prestasi yang diperoleh bukan level
Internasional tapi dengan kondisi lingkungan dan sekolahku saat itu, saya
merasa bangga memiliki anak-anak didik penuh antusias dan kegairahan dalam
belajar.
Demikian salah satu penggalan cerita dari seorang guru di
daerah yang munggkin kurang berarti bagi pembaca. Tetapi saya yakin sekecil
apapun kebaikan yang kita lakukan tak akan hilang dalam catatan Tuhan….Amiiin.
Pengalaman yang luar biasa menarik. Semoga bermanfaat untuk pembaca yang lain.
ReplyDeleteMakasih BU....Amiiin. jayalah pendidikan KITA
DeleteGod bless you... terima kasih Guru... Majulah Pendidikan Indonesia !!!
ReplyDeletesiapa bilang apa yang anda lakukan kurang berarti? itu adalah hal yang luar biasa! semoga kesuksesan senantiasa menyertai anda...
ReplyDeleteTrimaksih...Bang, semoga pendidikan Indonesia Semakin Maju
DeleteKisah yang inspiratif, jayalah guru Indonesia.
ReplyDeleteMakasih...OM, Semoga jaya pendidikan KITA
Deletesungguh luar biasa,apa yang telah anda lakukan.
ReplyDeleteMakasih Om...salam pendidikan
Delete