s
Keluarga Besar PGRI Cabang Kec. Tanjugsiang Subang Mengucapkan Selamat Hari Guru Nasional tahun 2016 dan HUT PGRI Ke-71

Monday, February 25, 2013

Contoh BEST PRACTICE



Pengalaman ini terjadi sekitar Tahun 2000, ketika itu baru dua tahun aku mengemban tugas sebagai guru SD, dan satu amanah yang cukup besar bagi seorang Guru Pemula sepertiku ketika Kepala Sekolah menugaskan langsung  menjadi Wali Kelas VI. Para Guru ditempat kerjaku rata-rata berpikir dua kali ketika harus menjadi wali kelas VI, hal ini dapat dimaklumi karena dikelas enam inilah keberhasilan kelulusan para peserta didik ditentukan yang pada akhirnya akan berimbas pada gengsi sekolah.
Sekolah tempat tugasku berada di daerah pedesaan dengan sebagian besar mata pencaharian masyarakatnya adalah petani dan buruh tani. Pertanian yang banyak dikembangan merupakan pertanian kering atau peladangan, dan  singkong serta jagunglah yang menjadi komiditi unggulan disini. Dengan kondisi itulah, sebagian besar anak didikku  berangkat ke sekolah dengan berjalan kaki dan karena kesibukan orangtua mengurus ladanggnya banyak diantara mereka yang belum sempat sarapan pagi. Bisa dibayangkan ketika anak-anak ini sampai di sekolah, jangankan untuk menerima materi pelajaran dengan baik, untuk bertahan agar mereka tidak masuk angin saja sudah cukup.
            Pada suatu ketika saat pembelajaran Bahasa Indonesia dengan materi mengarang, aku sudah siapkan berbagai intrumen pembelajaran mulai dari SATPEL (semacam RPP sekarang), lembar evaluasi, Lembar Kegiatan Siswa, dan gambar peristiwa sebagai media pembelajaran. Kegiatan diawali dengan sebuah cerita yang sudah kupersiapkan, kemudian siswa belajar menulis karangan dengan berdasarkan gambar yang telah dibagikan. Sungguh diluar dugaan, tatkala sebagai besar siswa banyak yang bolak-balik menghampiri tempat dudukku menanyakan “sebuah kata dalam Bahasa Indonesianya”. Dengan kondisi seperti inilah sudah dapat dipastikan kegiatan pembelajaran kurang berhasil dan hasil belajar siswa pun belum memuaskan.
            Pada waktu istirahat kucoba analisis hasil pekerjaan para peserta didikku dengan tujuan mencari tahu apa sebenarnya yang terjadi. Dari hasil kegiatan tersebut diperoleh suatu gambaran bahwa khazanah pembendaharaan Bahasa Indonesia para peserta didikku masih lemah. Hal ini bisa dilihat, dengan banyaknya ditemukan kata-kata dari Bahasa Ibu (Sunda) yang digunakan atau dicampur dengan Bahasa Indonesia dalam karangan. Kenyataan ini juga, didukung fenomena dalam proses pembelajaran di mana sebagian besar peserta didik bolak-balik ke meja Guru untuk menanyakan kata dalam Bahasa Indonesia.
            Seperti kita ketahui bersama menulis merupakan salah satu keterampilan dari empat keterampilan berbahasa, yaitu; menyimak, berbicara, membaca dan menulis itu sendiri. Keempat keterampilan tersebut merupakan bagian yang tidak berdiri secara sendiri-sendiri, tetapi rangkaian yang berjenjang. Ini artinya kemampuan menulis seseorang tidak akan baik jika ketiga keterampilan sebelumnya belum dikuasai. Saya berpikir masih kurangnya pembendaharaan kata peserta didik dalam menulis sebagai dampak kurangya kegiatan membaca, Terlebih dengan kondisi sekolah pada waktu itu, jangankan perpustakaan buku sumber saja sudah usang dengan jumlah yang terbatas. Perlu juga diketahui sekitar tahun 2000 Biaya Opersional Sekolah (BOS) belum ada sehingga buku-buku sebagai sumber belajar masih minim sekali.
            Sepintas berpikir ada keingginan untuk menugaskan peserta didik kelas VI untuk membeli kamus Bahasa Indonesia dengan tujuan untuk mengatasi permasalahan yang dialamanyi. Namun keinginan itu hilang ketika melihat kondisi ekonomi orang tua peserta didikku, belum lagi untuk mencari toko buku terdekat saja harus menuju ke Ibukota Kabupaten yang jaraknya sekitar 45 Km. Akhirnya muncul suatu ide untuk membuat “KAMUSKU”.
            Untuk membuat kamusku semua siswa ditugaskan umtuk membeli buku tulis yang murah saja, Buku tersebut digunting sehingga bentuknya memanjang. Tiap hari semua siswa ditugaskan mencari dan menuliskan 10 kata dalam Bahasa Indonesia lengkap dengan artinya dalam kurun waktu satu caturwulan (saat itu masih caturwulan). Selain itu juga siswa harus memperlihatkan sumber kata itu diambil, dan saya menugaskan untuk mencari kata-kata dari potongan kertas pembungkus makanan, koran bekas, dus makanan, dus obat dan apa saja yang mudah didapat dan tentu saja harus gratis. Ada dua tujuan pokok yang ingin saya tanamkan terkait kegiatan ini, yaitu:
1.      Membelajarkan peserta didik untuk secara kontinyu berlatih dan gemar membaca. Dengan menuliskan sepuluh kata dan mengartikannya, siswa dituntut untuk membaca dan memahami kata yang ditulisnya.
2.      Menanamkan sikap hemat dan memanfaatkan lingkungan sekitar sebagai sumber belajar. Dengan memanfaatkan barang-barang bekas yang tersedia siswa belajara untuk hidup hemat tanpa mengurangi makna untuk belajar.
Satu bulan telah kulalui, dan kurang lebih 240 kata telah masuk buku kamusku, kucoba lagi siswa untuk belajar mengarang. Hatiku mulai lega peserta didikku telah nampak konsentrasi untuk menulis karangan, walaupun ada beberapa yang masih nampak kebingungan mencari kata dalam Bahasa Indonesianya, namun hal itu tidak mengganggu jalanya proses pembelajaran.
Menjelang akhir tahun semua peserta didik kelas VI dihadapkan untuk mengikuti EBTA/EBTANAS (semacan UN sekarang), dan salah satu kegiatan ujian praktik Bahasa Indonesia adalah menulis karangan. Sungguh luar biasa ketika rata-rata nilai ujian praktik menulis karangan peserta didikku peringkat satu Kecamatan. Walaupun prestasi yang diperoleh bukan level Internasional tapi dengan kondisi lingkungan dan sekolahku saat itu, saya merasa bangga memiliki anak-anak didik penuh antusias dan kegairahan dalam belajar.
Demikian salah satu penggalan cerita dari seorang guru di daerah yang munggkin kurang berarti bagi pembaca. Tetapi saya yakin sekecil apapun kebaikan yang kita lakukan tak akan hilang dalam catatan Tuhan….Amiiin.

PAKEM



Berbeda dengan pabrik yang bahan mentahnya benda mati, sekolah menerima siswa sebagai masukan  yang berupa mahkluk hidup dengan bakat, keinginan, dan motivasi. Oleh karena itu proses pembelajaran jauh lebih rumit  perlu dirancang untuk mengaktifkan dan mengembangkan kreatifitas siswa sehingga efektif namun tetap menyenangkan.
Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan (PAKEM) dikenal sebagai model pembelajaran yang menitikberatkan pada penciptaan suasana belajar sedemikian rupa sehingga siswa aktif bertanya, mempertanyakan, dan mengemukakan gagasan. Peran aktif dari siswa sangat penting dalam rangka pembentukan generasi yang kreatif, mampu menghasilkan sesuatu bagi dirinya dan orang lain. Kreatif juga dimaksudkan agar guru menciptakan kegiatan belajar yang beragam mampu memenuhi tingkat kemampuan siswanya dalam suasana memyenangkan, sehingga siswa memusatkan perhatiannya secara penuh untuk belajar.
Kondisi aktif, kreatif, dan menyenangkan tidaklah cukup jika proses pembelajaran tidak efektif, yaitu tidak meghasilkan apa yang harus dikuasai siswa setelah proses pembelajaran berlangsung. Bahkan pembelajaran yang hanya aktif dan menyenangkan tetapi tidak efektif, maka pembelajaran tak ubahnya seperti bermain biasa.
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam melaksanakan PAKEM, diantaranya sebagai berikut :
1.      Memahami sifat yang dimiliki anak
Dalam kedaan normal anak memiliki sifat ingin tahu dan berimajinasi, kedua sifat tersebut merupakan modal bagi tumbuh berkembangnya sikap kritis dan kreatif, dengan memberikan pertanyaan yang menantang, mendorong siswa untuk melakukan penyelidikan sederhana, dan memberikan pujian terhadap hasil karya anak merupakan upaya yang dapat dikembangkan oleh guru untuk memupuk rasa  ingin tahu dan kreatif pada diri siswa.
2.      Mengenal anak secara perorangan
Setiap anak berasal dari latar belakang dengan kemampuan belajar yang berbeda. Perbedaan ini perlu diperhatikan dan harus tercermin dalam kegiatan pembelajaran. Guru dapat memanfaatkan perbedaan yang dimiliki anak ini dengan cara tutor sebaya, sehingga ketuntasan belajar anak menjadi lebih merata dan optimal.
3.      Memanfaatkan perilaku anak dalam pengorganisasian kelas
Pada dasarnya anak selalu bermain berpasangan atau berkelompok. Perilaku ini dapat dimanfaatkan dalam pengorganisasian kelas dengan cara belajar kelompok, sehingga  anak akan lebih mudah berinteraksi dan bertukar pikiran, tetapi perlu juga diimbangi dengan pemberian tugas secara perorangan agar bakat individunya menjadi lebih berkembang.
4.      Menata ruang kelas sebagai sumber belajar yang menarik
Ruangan kelas yang tertata dengan rapi secara langsung akan menumbuhkan minat belajar pada anak. Untuk menatanya dapat dilakukan dengan memajang setiap hasil pekerjaan siswa baik berupa gambar, tulisan, atau model. Selain itu hasil pekerjaan yang dipajangkan diharapkan akan memotiivasi  siswa juga sebagai inspirasi belajar bagi yang lainnya.
5.      Memanfaatkan lingkungan sebagai sumber belajar
Lingkungan dapat berperan sebagai media belajar dan objek kajian (sumber belajar) yang sangat kaya untuk bahan belajar anak. Lingkungan itu sendiri dapat dibedakan menjadi lingkungan fisik, sosial, dan budaya. Guru dapat memilihnya yang sesuai  dengan tujuan, materi, dan kondisi. Bahkan untuk menghemat biaya dan waktu guru dapat membawa atau mendatangkan sumber belajar dari lingkungan ke dalam kelas.
6.      Memberikan umpan balik
Pemberian umpan balik merupakan salah satu bentuk interaksi antara guru dan siswa, yang dimaksudkan untuk memberikan penguatan kepada siswa. Selain itu dengan pemberian umpan balik secara santun siswa akan lebih percaya diri dalam melaksanakan tuga-tugas belajar selanjutnya.
7.      Membedakan aktif fisik dan aktif mental
Dalam proses pembelajaran terkadang guru merasa puas jika siswa sibuk bekerja dan duduk berkelompok. Sebenarnya aktif mental dalan proses pembelajaran lebih dinginkan daripda aktif fisik. Aktif mental dapat dicermati jika siswa aktif bertanya, mengemukakan dan menanggapi gagasan. Suasana pembelajaran tersebut akan tercipta dalam kondisi menyenangkan, dimana anak terbebas dari rasa takut dan malu baik kepada guru atau teman sekelas.

Banggalah Menjadi Guru !!!!!!



Rasanya kita patut bersyukur dan merasa bangga mampu berpartisipasi untuk turut serta mewujudkan cita-cita pendidikan di Indonesia. Selain itu, berbagai perhatian yang diberikan Pemerintah telah kita rasakan bersama dan sangat kental terasa semenjak tahun 2000, dimana pada tahun itu negara kita masih memendam krisis yang mendera dalam berbagai segi-segi kehidupan bangsa pasca lengsernya orde baru.
Pasca pergantian orde baru semua orang menyadari terjadinya krisis berkepanjangan salah satu sebagai dampak dari pendidikan yang belum berhasil secara optimal, tak heran jika setiap orang menaruh dan berharap besar pendidikan merupakan salah satu tumpuan untuk terlepas dari berbagai himpitan krisis. Hal ini sangatlah wajar karena pendidikan merupakan serangkaian upaya dalam mendidik watak, budi, akhlak dan kepribadian manusia. Dengan demikian, pendidikan diharapkan dapat menghasilkan generasi yang cakap dalam berbagai dimensi kemanusiannya, dengan tujuan akhir mampu membawa bangsa dan negara ini dalam suatu kemajuan dan berkeadilan.
Namun sangat disayangkan proses pendidikan tidak dapat menghasilkan produk secara instan tetapi membutuhkan waktu dan kerja keras terlebih jika komponen didalamnya belum mendapat pembaharuan masih peninggalan budaya-budaya lama yang sudah usang. Disinilah muncul kesadaran perlunya pendidikan sebagai investasi di masa depan, apalagi jika kita bandingkan dengan negara tetangga yang bisa dibilang cukup berhasil. 
Menjelang awal-awal reformasi, pencarian jatidiri bangsa masih bersifat “Kafah” artinya lebih banyak mencari siapa yang bersalah, dan bukan bagaimana memperbaiki yang salah. Saling tuding dan tebar jasalah yang sering kita saksikan, muncullah kebosanan dan ketidak percayaan dari masyarakat, pada akhirnya timbul keinginan melepaskan diri dari kesatuan bangsa (disintegrasi) sebagai wujud keputus asaan. Pada sisi lain, reformasi yang telah keblablasan menimbulkan aura kebebasan yang tidak  bertanggungjawab. Tidak semestinya penyampaian pendapat dengan alih-alih perbaikan segi-segi kehidupan disampaikan dengan cara-cara pemaksaan, anarkis, dan kriminilitas. Kondisi yang lebih memprihatinkan, masyarakat kita telah banyak pudar nilai kebersamaan, lebih mementinkan pribadi dan golongan. Sangat ironis sekali ketika kita menyaksikan keyakinan dan agama hanya sebatas topeng demi kedudukan.
Inilah sebenarnya tantangan terbesar bagi kita bersama termasuk pendidikan sebagai garda terdepan pencetakan karakter dan budi pekerti bangsa. Jika kita cermati, memang ada benarnya juga persoalan-persolan bangsa ini salah satunya lahir dari proses pendidikan yang tidak seimbang, dimana lebih menekankan penguatan intelektual semata. Artinya pendidikan kurang memberikan penguatan terhadap pembentukan hakikat manusia itu sendiri secara menyeluruh. Menurut Ki Hajar Dewantoro, manusia memilki daya cipta, karsa dan karya. Pengembangan manusia seutuhnya menuntut pengembangan semua daya secara seimbang. Pengembangan yang terlalu menitik beratkan pada satu daya saja akan menghasilkan ketidak utuhan perkembangan sebagai manusia. Beliau juga mengatakan bahwa pendidikan yang menekankan pada aspek intelektual saja hanya akan menjauhkan peserta didik dari masyarakatnya.
Proses pendidikan itu sendiri berlangsung tidak hanya terjadi dalam lingkungan sekolah semata, ada keluarga dan masyarakat yang turut serta membentuk kepribadian individu. Namun, karena sekolah sebagai lembaga formal dimana proses pendidikan lebih nyata terlihat, komponen gurulah yang paling sering dipersalahkan. Hal ini wajar-wajar saja, karena guru adalah  ujung tombak dalam proses pendidikan dan menjadi mata rantai terpenting yang menghubungkan antara proses pendidikan dengan harapan akan masa depan dalam pembentukan kepribadian peserta didik. Namun kita juga tidak bisa menutup mata masih banyak permasalahan seputar guru, seperti halnya kurangnya respon terhadap upaya pembaruan pendidikan dan masih lemahnya motivasi untuk meningkatkan dan penguatan kompetensi.
Terlepas dari permasalahan yang bersifat personal guru, kita melihat begitu berat tugas dan tanggungjawabnya. Maka tak heran jika insan-insan pendidikan  yang dipelopori PGRI menuntut adanya peraturan perundang-undangan yang dapat melindungi dan memposisikan guru sebagai pekerjaan professional. Tuntutan tersebut akhirnya mendapat respon Pemerintah dengan lahirnya Undang-undang No 14 Tahun 2005 tentang guru dan dosen. Undang-Undang tersebut secara esensial menempatkan guru sebagai pekerjaan professional. Sebagai konsekuensi logisnya guru harus memiliki standar kualifikasi pendidikan minimum S.1 dan memiliki empat standar kompetensi, yaitu professional, pedagogic, social, dan pribadi. Dengan demikian, kedepannya tidak sembarang orang bisa menjadi guru, dan tugas mendidik hanya boleh dipegang oleh guru bersertfikat pendidik sebagai bukti dari keempat standar yang dipersyaratkan. Selain itu, pemerintah juga berkewajiban memberikan tunjangan profesi bagi guru yang bersangkutan.
Inilah salah satu kebanggan kita terhadap perhatian yang diberikan pemerintah bagi dunia pendidikan Indonesia khususnya menyangkut guru. Di masa-masa yang akan datang guru akan sejahtera dan terlindungi. Dalam kondisi itulah, diharapkan guru lebih berkonsentrasi dalam memberikan pelayanan penuh terhadap proses pendidikan yang berkualitas bagi kemajuan para peserta didiknya secara menyeluruh. SELAMAT HARI GURU 2016 dan HUT PGRI Ke 71.