Beragam wacana
yang menyebar di berbagai media baik elektonik, cetak, maupun online, tentang
Kurikulum Tahun 2013 atau lebih dikenal KURTILAS, ada beberapa catatan sebagai
bahan renungan kita. Catatan ini tidak lebih dan tidak kurang hanyalah sebagai
refleksi diri bagi kita semua sebagai pemerhati dan praktisi pendidikan.
1. Beberapa pendapat
menyatakan bahwa KURTILAS lahir secara premature. Padahal kita yakini bersama
bahwa semua kebijakan public tentu berdasarkan landasan yang kuat dan bertitik
tolak dari kelemahan-kelemahan sebelumnya secara empiris. Hanya saja
keberlakuan secara menyeluruh tidak diimbangi dengan sinergisitas prasarana
pendukung akan berakibat kebijakan tidak menjadi efektif.
2. Dari beberapa
temuan tentang evaluasi keberlakuan KURTILAS pada level bawah dikatakan
distribusi buku siswa maupun buku guru belum menyeluruh dan telat. Hal ini
diperparah dengan anggapan yang berkembang dikalangan para praktisi pendidikan
seolah menganggap kedua buku tersebut laksana kitab suci, dimana secara
prosedural kegiatan pembelajaran mutlak harus mengikuti seperti yang tertera pada
kedua buku tersebut, sehingga tanpa kedua buku tersebut pembelajaran tidak bisa
terlaksana. Padahal buku hanyalah standar minimal tentang materi dan scenario
pembelajaran. Dalam hal ini para paktisi diberikan kebebasan mengembangkan
bahan ajar tersebut dan ini sudah terbiasa pada kurikulum-kurikulum sebelumnya.
Dengan kata lain tanpa buku paket pun pembelajaran bisa dilaksanakan dengan
mencari bahan-bahan ajar yang begitu meruah baik secara online maupun cetak.
3. Pada
kondisi-kondisi perubahan yang dirasa kurang menentu beberapa pihak suka
memancing di air keruh demi keuntungan individu. Begitu banyaknya
software-sofware tentang KURTILAS yang beredar dengan dalih paling mudah dan
praktis beredar dikalangan level bawah. Kondisi ini memperuncing ketidakpastian
yang berujung pada kebingungan semua pihak. Padahal pendidikan merupakan
institusi Pemerintah, oleh karena itu, semua perangkat yang beredar hanya
tinggal menunggu instuksi secara legal dari hirearki di atasnya.
4. Penyusunan suatu
kebijkan akan lebih bermakna manakala penyusunnya berasal dari kalangan yang
menjadi sasaran kebijakan tersebut atau dengan kata lain menggunakan pendekatan
bottom up. Hal ini dimungkinkan
karena lebih tahu persis dengan kondisi lapangan secara kontektual. Dengan
demikian, kebijakan bukan suatu menara gading yang dirasa sulit atau ribet
untuk dijangkau oleh pelaksana kebijakan tersebut.
5. Dari beberapa referensi, bisa dikatakan KURTILAS
lebih kental menampakkan nilai-nilai karakter/sikap dibanding
kurikulum-kurikulum pendahulunya secara konseptual/isinya. Ini merupakan nilai
lebih sebagai bekal para peserta didik menghadapi kemajuan dan persaingan
global. Hanya saja penanaman sikap/karakter akan lebih baik selain isi yang
mengalami perubahan juga kemasannya. Kita punya pesantren, kita ambil kemasan
cara-cara atau pola pendidikan dipesantren. Pola pendidikan dipesantren
bersifat full day. Ini bisa diimplementasikan pada pola pendidikan dasar kita.
Sebagai contoh disatukannya komando antara Sekolah Dasar dan Madrasah Diniyah,
dari pagi sampai siang anak belajar tentang keilmuan umum, dilanjutkan belajar
ilmu-ilmu keagamaan. Dengan banyaknya waktu peserta didik dilingkungan
pendidikan tentu akan memperkecil karakter-karakter kurang baik yang didapat
dari lingkungan masyarakat.
6. Sebagai catatan
terakhir, ada baiknya kita sikapi suatu teori kebijakan dari pendapat Edward
III (1980), yang menyatakan ada beberapa factor agar suatu kebijakan dapat
berhasil ;
a.
Birokrasi
b.
Sumber Daya
c.
Sikap Pelaksana
d.
Komunikasi
Faktor-Faktor di atas coba kita renungkan
bersama, dimanakah sebenarnya factor yang dominan dan menjadi hambatan
keberhasilan KURTILAS,….. Kalau factor lebih mengarah secara personal, ada
baiknya kita membenahi diri….. demi kebaikan dan kemajuan dunia pendidikan yang
kita banggakan…semoga…Amiin